CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 18 Juni 2009

av

Perlunya Skenario Dalam AV..

Dalam membuat sebuah film diperlukan skenario, tentu saja skenario tidak begitu saja dibuat. Pembuat scenario membutuhkan keahlian menulis.
Seperti yang dikatakan oleh William Kennedy,

“Menulis adalah seni yang begitu rumit, sungguh rumit memahami apa yang Anda coba keluarkan dari imajinasi Anda sendiri, dari kehidupan Anda sendiri. “

Dengan mempertimbangkan, menimang, menggendong, dan mematangkan dengan berfikir, maka bila kita ingin menjadi penulis scenario yang baik perlu mengetahui beberapa hal dibawah ini:

1.Tulis hal-hal yang Anda Ketahui
2.Perhatikan penggunaan kata sifat dan kata keterangan
3.Melihat bagian awal juga bagian akhir
4.Pilih Sudut pandang yang berbeda
5.Jadikan menulis itu bagian dari hidup, agar scenario yang anda tulis tampak natural.
6.Cari cerita unik yang cocok dengan imajinasi yang ada dikepala

7.Bila bingung mencari bahan, carilah pada masa lalu . Contohnya: (pengalaman petualangan, percintaan, ataupun horror)
8.Kata dalam penulisan merupakan attitude atau budi pekerti, sehingga ketika actor mengaplikasikan kata-kata tersebut pada waktu berakting, menjadi peran yang tepat, dengan kata lain meletakkan sesuatu pada tempatnya.
9.Tunjukkan kata-kata yang singkat,padat, dan jelas yang mewakili karakter. (pemberani, pemalu, jahat atau baik)
10.Selamat mencoba..
Kameraman not back stage..

Banyak yang bilang bila kita memilih audio visual maka kita harus bersiap menerima kenyataan nantinya apabila sudah mengaplikasikan pekerjaan, statement itu beralasan memang, karena selama ini pekerjaan audio visual sangat berat, terutama kameraman dan hasilnya bahkan tak sebanding, mungkin hanya dihargai dengan tulisan nama berbaris cepat berlarian keatas tak tau kemana pada akhir pemutaran sebuah produksi film. Tapi itu cuma statement masyarakat non pelaku, jika kita mau sekedar mengintip hati para pelaku audio visul kususnya kameraman yang akan kita bahas kal ini, maka statement diatas salah besar

Para cendikia audio visual bekerja tidak menampakkan diri bukan karena tak layak jual tampang, tapi terlalu indah untuk sekedar tayang, mereka lebih mementingkan kepuasan yang ternilai ketika mempersembahkan sebuah karya.
Seperti layaknya sebuah arsitektur tembok, ketika para besi dengan berjiwa besar bersedia tidak menampakkan diri padahal dia begitu berjasa, tapi tetap dengan kerendahan hati mengalah pada semen dan cat yang menginginkan untuk tampil itulah para cendekia audio visual. Bayangkan saja jika besi tak mau mengalah, apa jadianya rencana arsitektur tembok yang mulus menjadi tembok yang dipenuhi besi yang keluar dan membahayakan?.

0 komentar: